Siapakah Demang Lehman?
HISTORI DEMANG LEHMAN
Beliau lahir tahun 1832 di Barabai,
kalimantan Selatan dengan nama Idies dan digelari Kiai Demang yang merupakan
gelar pejabat yang memimpin lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar.
Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran
Hidayatullah II sejak tahun 1857. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan
besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat
menjadi Kiai Demang sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan. Pada
masa perang banjar (1859–1905),
Demang Lehman bersama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin memimpin kekuatan
untuk melawan Belanda disekitar Martapura dan Tanah Laut.
Pada
tanggal 30 Agustus 1859, Demang Lehman berangkat menuju Keraton Bumi Selamat
dengan 3.000 pasukan. Serangan tiba-tiba itu mengejutkan Belanda. Bahkan,
Letnan Kolonel Boon Ostade nyaris tewas. Namun, serbuan ini gagal karena
berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi
senjata.
Sementara itu, kapal perang bone dikirim
Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali Benteng Tabanio yang telah
dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran.v Ketika pasukan Letnan Laut
Cronental menyerbu Benteng Tabanio, sembilan orang serdadu Belanda tewas.
Sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan.
Serangan kedua dilakukan oleh
Belanda. Namun, benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang
Lehman, Kiai Langlang, dan Penghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu
Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang,
sedangkan pasukan darat menyerbu Benteng Tabanio, Demang Lehman berserta
pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban.
Belanda
menilai bahwa kemenangan terhadap Benteng Tabanio ini tidak ada artinya. Jumlah
sarana yang dikerahkan adalah 15 buah meriam dan sejumlah senjata yang
mengkilap ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman.
Selanjutnya, Demang Lehman memusatkan
kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak di Tanah Laut. Benteng itu
terletak di atas bukit. Di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam.
Pada
27 September 1859, terjadi pertempuran memperebutkan benteng ini. Dalam
pertempuran yang sengit, pasukan Demang Lehman mempertahankan Benteng Gunung
Lawak dengan gagah berani. Lebih dari 100 pasukannya gugur dalam pertempuran
ini.
Kekalahan ini tidak melemahkan
semangat pasukan Demang Lehman. Mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda
adalah perang sabil. Mati dalam perang adalah mati syahid.
Pada September 1859, Demang Lehman
bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah dan Tumenggung
Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap
Belanda. Pertemuan menghasilkan kesepakatan menolak tawaran Belanda untuk
berunding.
Para
pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari Bumi Banjar. Mereka
akan berjuang tanpa kompromi, Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing yang
berarti berjuang sampai titik darah penghabisan. Di sisi lain, untuk
melumpuhkan perjuangan rakyat, Belanda mendirikan sejumlah benteng. Di daerah
Tapin, ada Benteng Munggu Tayor yang telah direbut dari pasukan Demang Lehman.
Di daerah Kandangan, didirikan pula Benteng Amawang. Demang Lehman dan
pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini.
Demang
Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng
sebagai pekerja Belanda. Dengan informasi dari kedua pekerja ini, Demang Lehman
bertekad menyerbu benteng tersebut. Namun, pihak Belanda memperoleh informasi
bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu Benteng Amawang.
Pasukan Belanda di bawah pimpinan
Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat
pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Pada
tanggal 31 Maret 1860, Demang Lehman beserta 300 pasukan menyerbu Benteng
Amawang.
Ketika
pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh
dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau
dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng. Pasukan
Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya
bantuan kekuatan ini menyebabkan Demang Lehman dan pasukannya mundur. Demang
Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad
Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadilah pertempuran.
Dalam pertempuran itu, komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan
beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang.
Demang
Lehman meneruskan ke daerah Barabai untuk membantu pertahanan Pangeran
Hidayatullah. Gustave Marie Verspijck, Jenderal Belanda yang memimpin berbagai
ekspedisi militer di Hindia Belanda, berusaha keras untuk menghancurkan
kekuatan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman.
Ratusan
serdadu dikerahkan oleh Gustave Marie Verspijck. Pengepungan terhadap kedudukan
Pangeran Hidayatullah ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone,
Bennet, dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini memasuki Sungai Ilir
Pamangkih. Karena banyak rintangan, serdadu Belanda terpaksa menggunakan
perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin
yang menggunakan lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini, Haji Sarodin
tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda.
Pertempuran
terjadi pula di Walangku Kasarangan dan Pantai Hambawang. Tetapi, karena jumlah
personel Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, diambil
suatu siasat mundur. Pangeran Hidayatullah mundur ke Aluwan, sedangkan Demang
Lehman bertahan di Kampung Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki
Barabai.
Belanda berusaha keras untuk
memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan
Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan
kekuatan rakyat tidak berhasil karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam
serangannya.
Belanda
berusaha memikat Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dengan segala cara
agar menghentikan perlawanannya. Belanda kemudian menempuh jalan untuk
menangkap kedua pejuang itu, hidup atau mati. Rakyat diminta membantu Belanda
menangkap kedua tokoh itu dan akan diberi imbalan oleh Belanda. Belanda
menghargai kepala Pangeran Hidayatullah sebesar f10.000 sedangkan Demang Lehman
sebesar f2.000.
Pemerintah Belanda juga mengutus Haji
Isa, seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa
adalah menyampaikan keinginan Pemerintah Belanda terhadap sang Pangeran ini.
Haji
Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayatullah, tetapi dia bertemu dengan
Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan misinya, Demang Lehman langsung
menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya
memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk
mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan
mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen Verspijck.
Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman
bersedia menemui Pangeran Hidayatullah asalkan Belanda berjanji mendudukkan
Pangeran Hidayatullah sebagai Sultan Banjar.
Setelah
terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura
yaitu Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada
tanggal 02 Oktober 1861, Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh
pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke
seluruh pelosok Martapura dan bakal mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap
Demang Lehman. Tanggal 06 Oktober 1861, Demang Lehman memasuki Kota Martapura
disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan
langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang.
Dalam
pertemuan empat mata, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji
memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji
menetap di Martapura, Banjarmasin, atau Pelaihari dan mengajak seluruh rakyat
kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerja sama seperti semula. Janji
Residen itu tidak menarik perhatiannya. Demang Lehman tegas menyatakan bahwa
mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di
Martapura memangku Kerajaan Banjar. Hasil pertemuan dengan Residen tersebut
memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayatullah dan
akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.
Pada
tanggal 09 Oktober 1861, Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan
kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini
mengkhawatirkan Belanda. Pada tanggal 30 Desember 1861, Residen GM Verspyck
tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen
berjanji Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama
perundingan berlangsung. Jika perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali
ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman.
Pada
tanggal 03 Januari 1862, Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran
Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada
tanggal 14 Januari 1862, Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara
Pahu.
Demang Lehman menyampaikan surat
Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pamenang. Dalam perjanjian
itu, Ratu Siti, ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Paau Sungai
Pinang, begitu pula keluarga Pangeran Hidayatullah yang masih menetap di
Tamunih.
Pada
22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayatullah berangkat dari Muara Pahu
dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan tiga hari kemudian sampai di
Awang Bangkal. Mereka tiba di Martapura tanggal 28 Januari 1862. Rombongan ini
disambut rakyat dengan suka hati. Rombongan langsung menuju tempat Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran
Hidayat.
Perundingan
dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862. Pihak Pangeran Hidayatullah terdiri
dari 23 orang, termasuk Demang Lehman. Dalam perundingan itu, Belanda mengatur
siasat yang licik berpura-pura baik hati dengan tujuan untuk menangkap dan
mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat, Martapura.
Dalam situasi yang terjepit dan
kondisi tidak memungkinkan, Pangeran Hidayatullah terpaksa menandatangani Surat
Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda
sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayatullah dengan
cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Belanda
terus berupaya menyingkirkan Pangeran Hidayatullah. Mereka melakukan segala
tipu daya. Penipuan itu dimulai dengan menangkap Ratu Siti, Ibu Sultan
Hidayatullah, 02 Maret 1862. Pihak Belanda lalu menulis surat atas nama Ratu
Siti kepada Sultan, agar mengunjungi dia sebelum dihukum gantung oleh Pihak
Belanda. Surat tersebut tertera cap Ratu Siti. Padahal, semua itu hanya
rekayasa dan tipuan. Sultan Hidayatullah pun ditangkap, lalu diasingkan ke
Cianjur. Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha
mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin, Tanah Bumbu. Dia
bersama Tumenggung Aria Pati bersembunyi di Gua Gunung Pangkal dan hanya
memakan daun-daunan.
Oleh
seorang bernama Pembarani, dia diajak menginap. Karena tergiur imbalan emas
dari Belanda, Pembarani bekerja sama dengan Syarif Hamid dan anak buahnya yang
sudah menyusuri Gunung Lintang dan Gunung Panjang untuk mencari Demang Lehman
atas perintah Belanda. Demang Lehman tidak mengetahui bahwa Belanda sedang
mengatur perangkap terhadapnya oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda
jasa.
Sehabis
menunaikan Shalat Subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, beliau ditangkap
dan diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung
terhadapnya. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura sebagai
pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864.
Beliau dihukum mati diumur 32 tahun. Naasnya usai dieksekusi mati, kepala
beliau dipenggal dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde
Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum Leiden di Negeri
Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
Mungkin
itu saja histori dari Demang Lehman panglima perang dari Kalimantan Selatan
yang jarang dikenal, Oleh karena itu semoga artikel ini dapat memberikan
wawasan baru buat sahabat-sahabat agar kita tidak pernah melupakan sejarah
perjuangan beliau dalam mengusir penjajah di Kalimantan Selatan ini.
Salam Pergerakan!!
Wallahu muwafiq ila aqwamithoriq wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh..🙏😊🙏
Sumber : https://barki.uma.ac.id/2020/09/17/kisah-demang-lehman-panglima-perang-melawan-belanda-yang-jarang-dikenal/
Komentar
Posting Komentar